Jumat, 20 Mei 2016

KISAH ZAID BIN HARITSAH


Tersebutlah Zaid bin Haritsah, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun. Postur tubuhnya pendek, hidung pesek dan warna kulitnya agak gelap. Bukan faktor kondisi fisik yang membuatnya terkenal, melainkan karena kesabaran dan kehebatannya menghadapi cobaan.
Ibunya bernama Su’da, sedangkan ayahnya bernama Haritsah. Su’da sudah lama ingin mengunjungi kerabatnya di kampung Bani Ma’an. Namun Haritsah tak bisa mengantar karena banyak urusan. Untunglah ada rombongan pedagang yang hendak kesana, maka ayah Zaid bisa menitipkan istri dan puteranya.

Su’da dan Zaid bin Haritsah sampai dengan selamat ke tujuan. Keluarganya di Bani Ma’an menyambut gembira. Apalagi Zaid bin Haristah sangat lincah, selalu ceria berlarian ke sana-ke mari. Namun kegembiraan penduduk kampung itu musnah karena serangan gerombolan perampok. Kekacauan pun terjadi dimana-mana, ibu-ibu dan anak-anak menjerit-jerit ketakutan.
Gerombolan perampok menghunus senjata tajam. Pria-pria jahat itu membunuh siapa pun yang melawan. Hingga penduduk kampung Bani Ma’an tak berdaya membela diri. Perampok itu merampas harta benda dan juga menawan beberapa orang penduduknya. Seorang pria sangar menangkap Zaid.
“Tolong….! Tolong…! Lepaskan aku!” teriaknya sambil meronta-ronta.
Tetapi penculik itu bertubuh besar, tenaganya juga sangat kuat. Zaid menjadi lemah kelelahan dan tak bisa lagi melawan. Pria jahat itu berhasil memaksa Zaid naik kuda, lalu melarikannya jauh-jauh.
“Lepaskan anakku! jangan culik dia!” Su’da berteriak-teriak. Tapi penculik itu tak punya belas kasihan. Dia semakin cepat menunggang kuda, meninggalkan Su’da yang menangis tersedu-sedu. Dengan kesedihan mendalam, Su’da mengadu pada suaminya. Ayah Zaid langsung pingsan, mendengar kabar buruk itu. Ketika siuman, Haritsah menjerit, “Oh Zaid! Malang sekali nasibmu anakku. Kamu masih kecil sudah menderita.”
Haritsah sangat mencintai putera kecilnya dan memulai perjalanan mencari Zaid. Haritsah menyandang buntelan di bahunya, menjelajahi padang pasir, memasuki kampung demi kampung dengan membaca syair sedih:

Ku tangisi Zaid, ku tak tahu apa yang telah terjadi
Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati?
Demi Tuhan aku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya
Apakah di lembah ia celaka, atau di bukit ia binasa?
Di kala matahari terbit ku terkenang padanya
Bila surya terbenam ingatan kembali menjelma
Tiupan angin yang membangkitkan kerinduan pula
Wahai, alangkah lamanya duka nestapa,
Diriku jadi merana



Setiap bertemu orang, dia selalu menanyakan keberadaan puteranya. Tapi tak seorang pun yang mengetahui. “Oh Zaid! Ke mana lagi ayah akan mencarimu,” ungkap Haritsah.

Sementara itu Zaid dipaksa menempuh perjalanan sangat jauh, dan tiap sebentar dirinya dibentak dan disakiti. Ternyata penculik membawa Zaid ke Mekah yang saat itu dikuasai kafir Quraisy, disana perbudakan masih terjadi.

Penculik membawa Zaid ke pasar Ukaz dan menjajakannya. “Ayo beli! Ayo beli! Anak ini akan saya jual.” Hakam bin Hazm datang membeli Zaid. Lalu Hakam menghadiahkan Zaid pada seorang perempuan bernama Khadijah binti Khuwailid. Ya, benar! Dia adalah istri dari Nabi Muhammad Saw. Kemudian Khadijah menghadiahkan Zaid kepada suaminya.

Nabi Muhammad menerima Zaid dengan gembira. Beliau berkata, “Anak baik, kamu tak pantas menjadi budak. Sekarang aku telah memerdekakanmu, bahkan kamu boleh tinggal di rumahku.” Alangkah leganya hati Zaid karena statusnya bukan lagi budak yang hina. Kini, ia mendapat kehormatan tinggal bersama Nabi Muhammad. Kebaikan Rosululloh dan Khadijah membuat Zaid betah tinggal di sana, hampir saja dia lupa dengan ayah dan ibunya.

Rosululloh mengasuh Zaid dengan penuh kasih sayang. Zaid pun diajar berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Dia juga seorang anak yang berbakti yang cekatan membantu berbagai pekerjaan rumah, hingga Rosululloh dan Khadijah makin sayang padanya.

Pada musim haji, banyak orang menziarahi ka’bah di Mekah. Diantara peziarah itu ada yang mengenali Zaid. Mereka bersorak gembira, “Wahai Zaid, syukurlah kamu sehat saja. Bagaimana kabarmu? Ayah dan Ibumu sangat rindu.” Zaid pun terharu dan teringat dengan orangtuanya. “Tolong sampaikan pada ayah ibu bahwa aku baik-baik saja. Kini aku baik-baik saja. Kini aku tinggal bersama manusia paling mulia. Dia menyayangiku sepenuh kasih sayang,” pesannya.

Kabar baik itu sampai pada orangtuanya. Haritsah segera menemui Nabi Muhammad, “Wahai pria yang terhormat! Tuan terkenal suka membebaskan orang tertindas. Kedatangan kami untuk meminta puteraku kembali. Zaid korban penculikan orang jahat. Sudilah membebaskannya kembali pada kami, dan terimalah uang tebusan yang telah kami siapkan ini.”

Nabi Muhammad tidak mau menerima uang tebusan sebab beliau sudah memerdekakan Zaid dari perbudakan. Tetapi Nabi Muhammad juga sulit memutuskan, sebab Zaid sudah terlanjur bahagia tinggal bersamanya. Rosululloh berkata pada Haritsah, “Kita serahkan saja pada Zaid untuk memilih sendiri. Jika Zaid memilih ayahnya, maka aku akan mengembalikannya tanpa tebusan. Tapi, bila Zaid memilih tinggal bersamaku. Aku tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku!”

Haritsah menerima tawaran Rosululloh. Lalu Nabi Muhammad bertanya, “Wahai Zaid, apakah kamu mengenal kedua laki-laki ini?” Zaid menjawab, “iya, mereka adalah ayah dan pamanku.” Kemudian Zaid dipersilahkan membuat keputusan. Ingat! Saat itu usia Zaid baru sekitar delapan tahun. namun dia harus menentukan masa depannya sendiri, tentu keputusan itu harus dibuat dengan pikiran serius.

Zaid berkata pada Nabi Muhammad, “Engkau adalah pilihan terbaikku!” akhirnya Zaid memilih tinggal bersama Rosululloh. Haritsah pun merelakan, sebab itu sudah menjadi pilihan anaknya sendiri.

Nabi Muhammad terharu mendengar pilihan Zaid, kemudian membimbingnya menuju Ka’bah. Nabi Muhammad mengumumkan Zaid sebagai anak angkatnya. Sejak itu penduduk Mekah menyebutnya Zaid bin Muhammad. Peran Zaid pun menjadi semakin penting sebagai murid istimewa Rosululloh yang menuntut ilmu di madrasah Nabi.

Beberapa waktu kemduian turunlah wahyu pertama dan Zaid langsung memeluk agama Islam. Meski ketika itu dia masih kanak-kanak namun pemikirannya sudah cerdas. Zaid telah mengetahui agama yang benar dari Alloh. Zaid seorang anak yang jujur. Hati, lidah dan tangannya terpelihara dari segala perbuatan yang buruk. Para sahabat nabi memanggilnya ‘Zaid kesayangan’. Kemudian Zaid tumbuh menjadi pemuda dewasa yang bertubuh kuat dan gagah berani. Zaid seringkali membela agama di medan perang. Bila dia ikut berperang, maka Rosululloh akan menunjuknya menjadi komandan. Demikianlah besarnya kepercayaan Nabi Muhammad kepadanya. 

Suatu ketika pasukan Romawi mengancam di perbatasan. Keadaan itu membahayakan keselamatan umat islam. Maka Rosululloh menyiapkan pasukan islam yang akan diberangkatkan menuju perang Mut'ah. Perang ini sangat berat karena pasukan Romawi berjumlah sangat banyak dengan persenjataan yang canggih. Tapi kaum muslimin tidak gentar. Apalagi Rosululloh memilih komandan yang tangguh, yaitu Zaid bin Haritsah.

Ketika itu tahun ke delapan hijriah, tepatnya di bulan Jumadil Ula, perang yang tak seimbang terjadi. Zaid bin Haritsah bertempur dengan gagah perkasa. Dia menyemangati pasukannya berjuang membela agama dan tanah air. Tetapi jumlah pasukan musuh memang terlalu banyak, Zaid bin Haritsah pun mati syahid di medan tempur. Dia wafat sebagai pahlawan yang mulia dan dimakamkan tak jauh dari lokasi perang. 

Pengorbanan Zaid bin Haritsah tidak sia-sia, sebab pasukan islam semakin bersemangat memerangi tentara Romawi. Akhirnya pertempuran bisa diselesaikan. Umat islam memakai taktik yang jitu, hingga bisa melepaskan diri dari jebakan pasukan Romawi. Nabi Muhammad sangat bangga punya murid sehebat Zaid. Anak korban penculikan itu telah menjadi pahlawan agama dan negara dan dijanjikan surga oleh Alloh.

Sumber: http://salimahbulungankaltim.blogspot.co.id/2012/05/kisah-zaid-bin-haritsah-anak-luar-biasa.html

KISAH UWAIS AL QARNI


Kisah Uwais bin ‘Amir Al Qarni ini patut diambil faedah dan pelajaran. Terutama ia punya amalan mulia bakti pada orang tua sehingga banyak orang yang meminta doa kebaikan melalui perantaranya. Apalagi yang menyuruh orang-orang meminta doa ampunan darinya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah disampaikan oleh beliau jauh-jauh hari.
Kisahnya adalah berawal dari pertemuaannya dengan ‘Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu.



عَنْ أُسَيْرِ بْنِ جَابِرٍ قَالَ كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِذَا أَتَى عَلَيْهِ أَمْدَادُ أَهْلِ الْيَمَنِ سَأَلَهُمْ أَفِيكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ حَتَّى أَتَى عَلَى أُوَيْسٍ فَقَالَ أَنْتَ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ قَالَ نَعَمْ . قَالَ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ قَالَ نَعَمْ.
 قَالَ فَكَانَ بِكَ بَرَصٌ فَبَرَأْتَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ لَكَ وَالِدَةٌ قَالَ نَعَمْ
Dari Usair bin Jabir, ia berkata, ‘Umar bin Al Khattab ketika didatangi oleh serombongan pasukan dari Yaman, ia bertanya, “Apakah di tengah-tengah kalian ada yang bernama Uwais bin ‘Amir?” Sampai ‘Umar mendatangi ‘Uwais dan bertanya, “Benar engkau adalah Uwais bin ‘Amir?” Uwais menjawab, “Iya, benar.” Umar bertanya lagi, “Benar engkau dari Murod, dari Qarn?” Uwais menjawab, “Iya.”
Umar bertanya lagi, “Benar engkau dahulu memiliki penyakit kulit lantas sembuh kecuali sebesar satu dirham.”
Uwais menjawab, “Iya.”
Umar bertanya lagi, “Benar engkau punya seorang ibu?”
Uwais menjawab, “Iya.”


قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « يَأْتِى عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ ». فَاسْتَغْفِرْ لِى. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ الْكُوفَةَ. قَالَ أَلاَ أَكْتُبُ لَكَ إِلَى عَامِلِهَا قَالَ أَكُونُ فِى غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَىَّ


Umar berkata, “Aku sendiri pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.”
Umar pun berkata, “Mintalah pada Allah untuk mengampuniku.” Kemudian Uwais mendoakan Umar dengan meminta ampunan pada Allah.
Umar pun bertanya pada Uwais, “Engkau hendak ke mana?” Uwais menjawab, “Ke Kufah”.
Umar pun mengatakan pada Uwais, “Bagaimana jika aku menulis surat kepada penanggung jawab di negeri Kufah supaya membantumu?”
Uwais menjawab, “Aku lebih suka menjadi orang yang lemah (miskin).”


قَالَ فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ حَجَّ رَجُلٌ مِنْ أَشْرَافِهِمْ فَوَافَقَ عُمَرَ فَسَأَلَهُ عَنْ أُوَيْسٍ قَالَ
تَرَكْتُهُ رَثَّ الْبَيْتِ قَلِيلَ الْمَتَاعِ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « يَأْتِى عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ ثُمَّ مِنْ قَرَنٍ كَانَ بِهِ بَرَصٌ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلاَّ مَوْضِعَ دِرْهَمٍ لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ ».
Tahun berikutnya, ada seseorang dari kalangan terhormat dari mereka pergi berhaji dan ia bertemu ‘Umar. Umar pun bertanya tentang Uwais. Orang yang terhormat tersebut menjawab, “Aku tinggalkan Uwais dalam keadaan rumahnya miskin dan barang-barangnya sedikit.” Umar pun mengatakan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.


فَأَتَى أُوَيْسًا فَقَالَ اسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ أَنْتَ أَحْدَثُ عَهْدًا بِسَفَرٍ صَالِحٍ فَاسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ اسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ لَقِيتَ عُمَرَ قَالَ نَعَمْ. فَاسْتَغْفَرَ لَهُ
Orang yang terhormat itu pun mendatangi Uwais, ia pun meminta pada Uwais, “Mintalah ampunan pada Allah untukku.”
Uwais menjawab, “Bukankah engkau baru saja pulang dari safar yang baik (yaitu haji), mintalah ampunan pada Allah untukku.”
Orang itu mengatakan pada Uwais, “Bukankah engkau telah bertemu ‘Umar.”
Uwais menjawab, “Iya benar.” Uwais pun memintakan ampunan pada Allah untuknya.
فَفَطِنَ لَهُ النَّاسُ فَانْطَلَقَ عَلَى وَجْهِهِ
“Orang lain pun tahu akan keistimewaan Uwais. Lantaran itu, ia mengasingkan diri menjauh dari manusia.” (HR. Muslim no. 2542)


Faedah dari kisah Uwais Al Qarni di atas:
1- Kisah Uwais menunjukkan mu’jizat yang benar-benar nampak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia adalah Uwais bin ‘Amir. Dia berasal dari Qabilah Murad, lalu dari Qarn. Qarn sendiri adalah bagian dari Murad.
2- Kita dapat ambil pelajaran –kata Imam Nawawi- bahwa Uwais adalah orang yang menyembunyikan keadaan dirinya. Rahasia yang ia miliki cukup dirinya dan Allah yang mengetahuinya. Tidak ada sesuatu yang nampak pada orang-orang tentang dia. Itulah yang biasa ditunjukkan orang-orang bijak dan wali Allah yang mulia.
Maksud di atas ditunjukkan dalam riwayat lain,
أَنَّ أَهْلَ الْكُوفَةِ وَفَدُوا إِلَى عُمَرَ وَفِيهِمْ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ يَسْخَرُ بِأُوَيْسٍ
“Penduduk Kufah ada yang menemui ‘Umar. Ketika itu ada seseorang yang meremehkan atau merendahkan Uwais.”
Dari sini berarti kemuliaan Uwais banyak tidak diketahui oleh orang lain sehingga mereka sering merendahkannya.
3- Keistimewaan atau manaqib dari Uwais nampak dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Umar untuk meminta do’a dari Uwais, supaya ia berdo’a pada Allah untuk memberikan ampunan padanya.
4- Dianjurkan untuk meminta do’a dan do’a ampunan lewat perantaraan orang shalih.
5- Boleh orang yang lebih mulia kedudukannya meminta doa pada orang yang kedudukannya lebih rendah darinya. Di sini, Umar adalah seorang sahabat tentu lebih mulia, diperintahkan untuk meminta do’a pada Uwais –seorang tabi’in- yang kedudukannya lebih rendah.
6- Uwais adalah tabi’in yang paling utama berdasarkan nash dalam riwayat lainnya, dari ‘Umar bin Al Khattab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ
Sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang pria yang bernama . Uwais. Ia memiliki seorang ibu dan dulunya berpenyakit kulit (tubuhnya ada putih-putih). Perintahkanlah padanya untuk meminta ampun untuk kalian.” (HR. Muslim no. 2542). Ini secara tegas menunjukkan bahwa Uwais adalah tabi’in yang terbaik.
Ada juga yang menyatakan seperti Imam Ahmad dan ulama lainnya bahwa yang terbaik dari kalangan tabi’in adalah Sa’id bin Al Musayyib. Yang dimaksud adalah baik dalam hal keunggulannya dalam ilmu syari’at seperti keunggulannya dalam tafsir, hadits, fikih, dan bukan maksudnya terbaik di sisi Allah seperti pada Uwais. Penyebutan ini pun termasuk mukjizat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7- Menjadi orang yang tidak terkenal atau tidak ternama itu lebih utama. Lihatlah Uwais, ia sampai mengatakan pada ‘Umar,
أَكُونُ فِى غَبْرَاءِ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَىَّ
“Aku menjadi orang-orang lemah, itu lebih aku sukai.” Maksud perkataan ini adalah Uwais lebih senang menjadi orang-orang lemah, menjadi fakir miskian, keadaan yang tidak tenar itu lebih ia sukai. Jadi Uwais lebih suka hidup biasa-biasa saja (tidak tenar) dan ia berusaha untuk menyembunyikan keadaan dirinya. Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
8- Hadits ini juga menunjukkan keutamaan birrul walidain, yaitu berbakti pada orang tua terutama ibu. Berbakti pada orang tua termasuk bentuk qurobat (ibadah) yang utama.
9- Keadaan Uwais yang lebih senang tidak tenar menunjukkan akan keutamaan hidup terasing dari orang-orang.
10- Pelajaran sifat tawadhu’ yang dicontohkan oleh Umar bin Khattab.
11- Doa orang selepas bepergian dari safar yang baik seperti haji adalah doa yang mustajab. Sekaligus menunjukkan keutamaan safar yang shalih (safar ibadah).
12- Penilaian manusia biasa dari kehidupan dunia yang nampak. Sehingga mudah merendahkan orang lain. Sedangkan penilaian Allah adalah dari keadaan iman dan takwa dalam hati.
Semoga bermanfaat.

Sumber: https://rumaysho.com/10538-kisah-uwais-al-qarni-dan-baktinya-pada-orang-tua.html